Hubungan Kesamaan Konsep Wahabi, NII / DI TII / PISWA Al Yaklu Arjosari Malang / Jamaah Islamiyah / JAT, Kejumudan berpikir Serta Perilaku Teror Permusuhan
dan Perampasan kepada Ummat Islam
Coba kita simak berita di koran tanggal 29/06/2010 berikut:
Kebumen – Setelah tiba di tanah kelahiranya, di
Dusun Duwet, Desa Kewayuhan, Kecamatan Jagoan, Kebumen, Jawa Tengah, Selasa(29/06/2010),
jenazah Yuli Harsono tersangka teroris yang tertembak dalam penggerebekan Densus
88 di Klaten langsung disambut pekikan takbir oleh ratusan teman-temanya.
Jenazah tiba dari
RS Polri Jakarta di Kebumen diangkut dengan menggunakan mobil ambulans dengan Nopol
B 1024 TIX dikawal oleh ayah Yuli, Salimun Ashari dan adik ipar Yuli Ali Suhada’
bersama Muhammad Kurniawan dan Endro Sudarsono, pengacara dari Islamic Studi and
Action Center (ISAC).
Begitu tiba di rumah
duka, ratusan warga masyarakat desa sekitar dan ratusan warga yang hadir dari luar
kota sejak pagi dini hari langsung membentangkan kain bertuliskan ‘Kuburan Para
Mujahidin (Pahlawan Islam)’, ‘Selamat Datang Pahlawan Islam’, ‘As Syahid, Jihad
Still Continue’.
Namun, saat prosesi
perawatan jenazah di rumah duka, akses wartawan langsung dibatasi sedemikian rupa
sehingga puluhan wartawan diatur untuk tidak diperbolehkan mengambil gambar dari
dekat.
“Maaf Mas, ini permintaan
keluarga. Wartawan dilarang mendekat,” tegas pengacara keluarga Yuli Harsono, Kurniawan
kepada puluhan wartawan di depan rumah duka.
Usai pemberangkatan,
beberapa wartawan diperbolehkan mendekat untuk mengambil gambar pemberangkatan jenasahnya
menuju ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dusun Sodor, Desa Kewayuhan, Kecamatan Pejagoan,
Kebumen yang merupakan dusun sebelah dari rumah duka.
Sepanjang perjalanan
1,5 kilometer ke TPU desa sebelah ratusan petugas kepolisian setempat melakukan
penjagaan cukup ketat.
Pekikan takbir dan
mati sahid mengiringi perjalanan pengantar jenazah dari rumah duka ke TPU para pelayat
juga mengeluarkan kata-kata yang menyinggung institusi kepolisian.
“Polisi
kafir”! tegas ratusan rekan-rekan
Yuli Harsono yang rata-rata berpenampilan berjenggot dan memakai celana sebatas
lutut atas itu.
Polisi &
Keluarga Lega
Sementara itu, keluarga
almarhum Briptu Iwan Nugroho salah satu polisi yang tewas dan diduga ditembak oleh
Yuli Harsono mengaku bersyukur dengan terungkapnya identitas pembunuh Iwan.
Pernyataan itu disampaikan
oleh Aiptu Wagiman, ayah almarhum Briptu Iwan yang dimintai konfirmasi wartawan
di Mapolsek Ngombol, Desa Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah.
Wagiman menyatakan
sangat berterima kasih dengan semua pihak yang telah berupaya keras untuk menemukan
pembunuh anaknya. “Saya lega pembunuh anak saya sudah diketemukan,”tegas Aiptu Wagiman.
“Saya masih tanda
tanya besar apa motif di balik penembakan dan pembunuhan anak saya itu?” tegas Wagiman.
Sedangkan Kapolres
Purworejo AKBP Agus Krisdiyanto saat dikonfirmasi detikcom melalui handphonenya
mengaku bisa bernafas lega setelah kasus pembunuhan dua anak buahnya di Pos Polisi
Kentengrejo beberapa waktu lalu sudah menemukan titik terang.
“Kami tentunya lega
karena kasus yang menyita perhatian masyarakat luas itu akhirnya terungkap,”tegas
Agus Krisdiyanto
Seperti diberitakan
detikcom dengan judul 2 Anggota “Polres Purworejo Tewas Tertembak”, Sabtu 10 April
2010, Briptu Iwan Eko Nugroho bersama Brika Wagino ditembak di Pos Polisi Kentengrejo,
Kecamatan Purwodadi, Purworejo.
Sebelumnya pada
Senin 15 Maret 2010, juga meberitakan bahwa Briptu Yona Ditemukan Tewas di Mapolsek
Prembun, Kebumen, Jawa Tengah dengan luka tembak.
Benih-benih NII -
Jihad Islam seperti Yuli Harsono yang dari Kebumen inilah yang masih melekat
kuat di alam pemikiran konseptor Negara Islam pimpinan Sukirman alias Abang
alias Asbirin Maulana (Purwakarta) -owner TK SD Alyaklu, sekaligus owner Rumah
Makan Ulu Juku Makasar dan RM Angkasa Nikmat, Depot Darisa Palu, serta tangan
kanannya bernama Drs. Sukirman, MT, pegawai VEDC Malang (asal Kebumen), Drs.
Langgeng, MT pegawai Instalasi Bangunan VEDC Malang (asal Nganjuk), Wiyanto
(asal Ponorogo) -admin web AsosiasiDuniaMaya.blogspot.com, Endang Supadminingsih (asal Magetan, istri Wiyanto),
Isnada Waris Tasrim (asal Palu Sulteng, istri Asbirin Maulana), Fahmi (asal
Cirebon) dan para pengikut Jamaah Al Yaklu Arjosari Malang- RM. Ulu Juku
Makassar, RM Angkasa Nikmat dan Depot Darisa Palu.
Dasar Pengkafiran
Jamaah Al Yaklu Malang terhadap Orang Muslim di luar komunitas mereka.
Penuturan
hasil pengalaman selama sekian tahun hidup dalam komunitas jamaah Takfir wal
Hijrah Negara Islam Indonesia (NII) -Pemerintahan Islam Sejuta Wali (PISWA)
dalam kedok Yayasan Perkumpulan Manunggal Bangsa (MABA) TK-SD Unggulan Al Yaklu
International Outlook School Arjosari Malang.
Dikisahkan bahwa Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa
pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi
kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa
sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa
siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia
telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain,
al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari
tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn
Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami
oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi
firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut
[tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar
tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan
berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.
Pemahaman semacam ini
seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan
fasik dan membunuhnya/ memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud
dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang
muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh”
itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku
zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi
kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian
mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya
jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah. Oleh karenanya peperangan sesama
orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara
kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan
kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah
kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut
menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn
Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti
Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat
dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri
yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam
al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات:
9)
Dalam ayat ini dengan
sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya
sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh
tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah
ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini -seperti yang saya alami dari pengajian internal (indoktrinasi)
Al Yaklu Arjosari dan oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali
dipakai untuk menuduh kafir terhadap sesama muslim / orang-orang yang tidak memakai
hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang
tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai
Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada
negara Indonesia.
pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid Quthub dalam
karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang
Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum
Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah
sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah
orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa
jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang
dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j.
2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2,
h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam
karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip
tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS.
al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya
gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin
pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara
Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak
keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memenjarakan orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh
banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah
(seperti NII atau DI /TII/ PISWA Arjosari Malang), Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah
al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasAan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir
dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya;
A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan;
The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid
Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah
di atas.
Sekali lagi, anda jangan
memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah
maka berarti sama saja anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!
Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan”
yang disebut sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir
bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari
amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini
menegaskan bahwa kelompok yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif
(baca: keselamatan).Tidak jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat
yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi dari
klaim ini adalah menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang
benar selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai
yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan Salafi
ini sebenarnya bukan gerakan baru.
Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran Islam
Wahabi yang dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dibesarkan
oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab, menjadi gerakan Salafi. Metamorfosis ini
jelas untuk memperkenalkan ajaran usang dengan pendekatan dan nama baru. Pertanyaan
yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik dengan
mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana pandangan Ahlusunnah terhadap
kelompok Salafi ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap ulama Ahlsunnah terhadap kelompok
ini, dan literatur-literatur tekstual apa saja yang telah ditulis oleh para ulama
ahli sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Tulisan ringan ini berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan asumtif di atas. Kami persilahkan Anda untuk menyimak tulisan
berikut ini yang merupakan hasil wawancara jurnal Kalam Islami dengan Ayatullah
Ja'far Subhani.
Founding
Father Wahabi
Wahabi
adalah sebuah aliran pemikiran yang muncul pada awal abad ke-8 H. yang dicetuskan
oleh Ahmad bin Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah kejatuhan pemerintahan
khilafah Abbasiyah di Baqdad. Pemikiran kontroversialnya yang ia lontarkan pertama
kali pada tahun 698, pada masa mudanya dalam risalahnya yang bernama (Aqidah hamwiyah), sebagai jawaban atas pertanyaan
masyarakat Hamat (Suriah) dalam menafsirkan ayat (Ar-rahman ala al-Arsy istawaa) artinya: “Tuhan yang Maha Pemurah,
yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia mengatakan bahwa; Allah Swt bersemayam di
atas kursi di langit dan bersandar padanya.
Risalah
tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya, yang menyebabkan para
ulama Ahlusunnahdengan suara bulat melakukan kritikan dan kecaman terhadap pemikirannya,
akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn Taimiyah dengan pemikiran kontroversialnya
malah semakin berani. Dengan alasan itulah, pada akhirnya di tahun 705 pengadilan
menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir. Kemudian pada tahun 712 Ia kembali lagi
ke Syam. Di Syam Ibn Taimiyah kembali bergerilya melakukan penyebaran paham-paham
kontroversial. Akhirnya pada tahun 721 dia dimasukkan ke dalam penjara dan pada
tahun 728 meninggal di dalamnya.
Penyikapan
dan tulisan-tulisan para ulama terkemuka Ahlusunnah pada waktu itu, merupakan sebuah
bukti dalam catatan sejarah yang tidak akan pernah terhapus atas penolakan pemikiran
Ahmad Ibn Taimiyah.
Ibn
Batutah misalnya; yang terkenal sebagai seorang pengelana dalam catatan perjalanannya,
atau masyhur dengan “peninggalan Ibn Batutah” menulis : Ketika saya
di Damaskus, saya melihat Ibn Taimiyah berceramah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
akan tetapi sangat disayangkan ceramahnya itu terkesan tidak memiliki sisi rasionalitas,[1] lanjut
beliau: Ibn Taimiyah pada hari jumat di sebuah mesjid sedang memberi nasehat dan
bimbingan kepada hadirin, dan saya turut hadir dalam acara tersebut, salah satu
dari isi ceramah Ibn Taimiyah adalah sebgai berikut: “Allah SWT dari atas Arsy turun
ke langit pertama, seperti saya turun dari mimbar, pernyataan tersebut dia lontarkan
dan dengan segera dia pun satu tangga turun dari mimbarnya,” tiba-tiba seorang Faqih
mazhab Maliki yang bernama Ibn Zuhra berdiri, dan menolak pandangan ibnu taimiyyah.
para jemaah pendukung Ibn Taimiyah berdiri, dan mereka memukul faqih mazhab Maliki
yang protes tersebut dan melemparinya dengan sepatu.[2]
Itulah
salah satu contoh aqidah Ibn Taimiyah yang disaksikan secara langsung oleh Ibn batutah
sebagai saksi yang netral dan tidak berpihak, dia mendengar dengan telinganya secara
langsung dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Semoga Allah melindungi kita
dari orang-orang yang menjelaskan aqidah dan makrifat Islam berdasarkan pemikiran
tersebut.
Tak
syak lagi bahwa Ibn Taimiyah dengan berbagai kelemahan yang dimiliki, tetap mmiliki
sisi positif walaupun sangat terbatas (Tak ada
keburukan mutlak di dunia). Dan yang disayangkan adalah para pengikutnya
hanya melihat sisi positif Ibn Taimiyah saja, dan menolak serta menutup-nutupi sisi
kelemahan dan negatifnya secara membabi buta. Bagaimanapun juga bagi para pemikir
yang bebas dan merdeka yang lebih mencintai kebenaran hakiki daripada Plato akan
melihat arah positif dan negatifnya dan mengkritisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, orang-orang
di bawah ini dapat dikategorikan sebagai para pakar dan akademisi Syam dan Mesir
di zamannya, mereka mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah telah merubah ajaran-ajran
para nabi dan wali Allah. Dan ntuk menolak dan mengkritisi pemiiran ibn Taimiyyah
mereka menulis buku sebagai berikut:
1.Syeikh
Sofiyuddin Hindi Armawi (644-715Q)
2.Syeikh
Syahabuddin bin Jahbal Kalabi Halabi (733)
3.Qadhi
al-Qodhaat Kamaluddin Zamlakany (667-733)
4.Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad Dzahabi(748)
5.Sadruddin
Marahhil ( wafat 750)
6.Ali bin Abd al Ka’fi Subki ( 756)
7.Muhammad bin Syakir Kutby (764)
8.Abu Muhammad Abdullah bin As’ad
Yaafi’i (698-768)
9.Abu Bakar Hasni Dimasyqy (829)
10.Shahabuddin Ahmad bin Hajar ‘Asqalany
(852)
11.Jamaluddin Yusuf bin Taqari Ataabaqi
(812-874)
12.Shahabuddin bin Hajar Ha’itami
(973)
13.Mulla Ali Qari Hanafi (1016)
14.Abul Ais Ahmad bin Muhammad Maknasi
terkenal dengan Abul Qadhi’ (960-1025)
15.Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani(1265-1350)
16.Syeikh Muhammad Kausari Misry
(1371)
17.Syeikh Salamah Qadha’i Azami (1379)
18.Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1396)[3]
Sebagian dari mereka menulis buku
khusus untuk mengkritik pemikiran Ibn Taimiyah. Seperti Taqiyuddin Subki dalam kritiknya
terhadap Ibn Taimiyah menulis dua buah kamib yang berjudul Syifau al
siqomi fi ziarati khoirul anami dan Ad-Durrot
al madiati fii radi ala Ibni taimiyah).
Kritikan yang terus menerus yang
dilakukan oleh para cendekiawan muslim sunni terhadap Ibn Taimiyah menyebabkan doktrin-doktrin
pemikirannya terkubur, dan dengan berlalunya zaman ajarannya perlahan-lahan terlupakan,
aliran pemikiran ibn taimiyyah tidak ada yang tersisa kecuali dalam buku-buku yang
ditulis oleh muridnya yang bernama Ibn Qayyum Jauzi (691-751), bahkan ibn Qayyum
dalam kitab (Ar-Ruuh) menentang
pandangan gurunya sendiri.
Muhammad bin Abdul Wahab Pelanjut Pemikiran
Ibn Taimiyah di Abad 12
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan
pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad. Semasa belajar di Madinah
para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan
ekstrim dan keliru terucap dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika
Muhammad bin Abdul Wahab pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”[4]
Selagi
ayahnya masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam,
tetapi setelah wafat ayahnya pada tahun 1153, tirai yang menghalangi keyakinannya
terkuak.[5]
Dua
aspek yang membantu penyebaran dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat
arab Baduy Najad yaitu:
1.Mendukung sistem politik keluarga
Su’ud
2.Menjauhkan masyarakat Najad dari
peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara pelan-pelan
mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang jauh dari najad
seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul Marom) yang menerima dan mengikuti
ajarannya, dan dalam sebuah qasidahnya berbunyi sebagai berikut:
Salam alaa najadi wa man halli fii najdi
Wa in kaana taslimi alal abdi laa yuzdii
(Salam bagi Najad dan siapa saja yang ada disana yang
memiliki tempat,
Walau tak seberapa salam saya dari jarak jauh memberi
kebaikan)
Akan tetapi ketika dia menyadari
pembunuhan, perbuatan keji dan penyerangan terhadap kaum muslimin dilakukan oleh
para pengikut Abdul Wahab yang diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Penyesalan itu dia lontarkan kembali dalam alunan qasidahnya, berikut bunyinya:
Raja’tu anil qauli allazi qultu fi
najdi
Wa qod shahha anhu. Khulafulladzi
indi
Dalam perkataan lalu tentang lelaki
itu (Muhammad Ibn Abdul Wahhab) saya tarik kembali, karena kesalahan sesuatu yang
berkenaan dengan Ia telah diketahui dan sudah jelas bagi saya.
Setelah berkembangnya pemikiran Wahabi,
orang pertama yang menolak terhadap paham wahabisme itu adalah saudaranya sendiri,
yakni Sulaiman bin Abdul Wahab dalam buku (As-Sowaa’iqul
illahiyyah). Setelah beliau, banyak para ulama dan tokoh-tokoh pemuka
Ahlusunnahlainnya melontarkan kritikan terhadap pahamnya itu. Barangkali lebih dari
100 judul buku yang telah ditulis untuk menentang pemikiran abdul wahab tersebut,
di antaranya:
1.
Abdullah bin Lathif Sya’fii penulis (Tajrid Syaiful al-jihad lil Mudda’i al–Ijtihad)
2.
Afifuddin Abdullah bin Dawud Hanbali penulis (As-sawa’iq wa al-Ruduud)
3.
Muhammad bin Abdurrahman bin Afalik Hanbali penulis (Tahkamu al-Muqalladin biman ad’i Tajdidi ad-Diin)
4.
Ahmad bin Ali bin Luqbaani Basri penulis risalah kritik atas
keyakinan anaknya Abdul wahab.
5.
Syeikh Atho’ Allah Makki, penulis (Al-Aarimul al-Hindi fi Unuqil Najdi)
Para cendikiawan Ahlusunnah inilah
yang telah menuliskan buku-buku dalam mengkritik dan menolak pemikiran Abdul wahab,
dan dan selain mereka masih banyak yang menulis buku dann untuk selengkapnya silahkan
anda merujuk buku Buhusul fi Milal wa Nihal ( juz 4, halaman 355-359).
Di kalangan syiah, yang pertama kali
yang mengkritik pemikiran wahabi adalah faqih dan marja masyhur di dunia syiah;
Almarhum ayyatulah Syeikh Ja’far Kasyif al-Qittho (1226), yang berjudul Minhajjul
Rissyadi liman araadas-Sadad, beliau dengan bukunya tersebut telah menyingkap
hakikat kebenaran, dan beliau mengirim buku tersebut ke Amir Sa’ud bin Abdul Aziz
(pemimpin ta’ashub wahabi).
Cucu beliau, Almarhum Ayatullah Syeikh
Muhammad Husein Ali Khasyif al Qitto, juga menulis sebuah buku yang berjudul ‘’Al-Aayat al-Bayyinat fi Qam’il Bidai wa Dzolalat)
dengan pendekatan logika (akal) dan naql (wahyu), sebagai upaya kritikan dan perlawanan
atas paham wahabi yang telah merusak dan menghancurkan makam suci para imam Ahlubait
as di Madinah pada tahun 1344 HQ.
Sebuah buku yang paling masyhur dari
ulama Syiah dalam mengkritik wahabi dengan pendekatan yang logis, buku berjudul
‘’Kasyful irtiyob an itba’ Muhammad bin Abdul
Wahab), yang ditulis oleh Allamah Ayyatullah Sayyid Muhsin Amuli, buku
ini, sangat bagus ditelaah dan akan membuka wacana pemikiran terutama bagi para
peneliti.[6]
Pembaharuan Pemikiran dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi dengan pondsai pemikiran Salafi menentang
seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman
pada tahun 1344 Q menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan
madinah al munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya
sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan
wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia menyetujui mengimpor produk
teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain.
Dan sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan
terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa
“berdarah Akhwan”.
Ahmad Amin, penulis asal Mesir, ketika
membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa pemikiran wahabi sekarang yang
berkembang ini pada hakikatnya 100 persen bertolak belakang dengan pemikiran wahabi
di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi menolak
peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di antara mereka
meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara Negara-negara lain
bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah menciptakan bid’ah bahkan
menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi Negara tersebut.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi
dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad
memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras segala
bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus peradaban baru yang dalam system
pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah
dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui Negara-negara islam yang lain
sebagai negar Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga
memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan
sistem pemerintahan modern. Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani
cara berpikir dan aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan
kaum muslimin dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin
dan menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan
baru dan menganggapnya sebagai bidah. Dan dengan memperhatikan serangkaian peristiwa
yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi (seperti bertambahnya tekanan dan ancaman Amerika
dan Israel terhadap Negara-negara Islam dan Negara-negara Arab setiap hari dan kehadiran
dan peran aktif pemerintahan Republik Islam Iran dalam hidup berdampingan dan damai
dengan Negara-negara tetangganya serta memimpin perlawanan terhadap hegemoni yahudi).
Hal tersebut di atas menyebabkan secara perlahan-lahan pandangan negara Arab Saudi
menjadi netral dan stabil terhadap negara Republik Islam Iran bahkan lebih dari
itu mereka meninjau kembali ajaran-ajaran kering Wahabi serta pengkafiran kaum muslimin.
tidak ada yang lebih indah yang dilakukan oleh Negara yang menjadi tuan rumah umat
islam pada perhelatan akbar ibadah haji setiap tahun, kecuali menjadi negara netral
dan meninjau kembali pandangan mereka selama ini.
Sejak aliran Wahabi yang fanatik
muncul di Arab Saudi, dunia Islam menyaksikan berbagai peristiwa yang sangat pahit.
Aliran menyimpang tersebut berkembang karena didanai oleh uang hasil penjualan minyak
Arab Saudi dan dukungan dari para arogan Barat, di mana media-media Barat berupaya
mengenalkan aliran Wahabi sebagai aliran yang mewakili dunia Islam.
Para pengikut aliran menyimpang ini
juga menyandarkan semua perbuatan anti-kemanusiaan seperti aksi teror, pembunuhan
dan perampasan kepada agama Islam. Padahal aksi-aksi itu dengan sendirinya telah
mencoreng agama Islam. Hal baru dari kebusukan dan tidak mencerminkan ajaran Islam
dari perilaku para pengikut Wahabi adalah fatwa Mufti Agung Arab Saudi, Abdul Aziz
bin Abdullah al-Syeikh terkait minoritas Kristen, di mana fatwa tersebut menimbulkan
berbagai masalah dan kecaman. Mufti ini tanpa melihat logika agama dan kemanusiaan
mengeluarkan fatwa bahwa semua gereja di negara-negara Islam sekitar Teluk Persia
harus dihancurkan. Statemen itu menimbulkan kemarahan dan kecaman dari para pendeta
dan ulama Islam.
Hakikat Islam tidak lain adalah kecintaan
dan saling mengasihi di antara manusia. Agama samawi ini adalah agama perdamaian
dan persatuan, di mana salah satu ciri khusus Nabi Muhammad Saw dapat dilihat dari
akhlak mulianya. Rasulullah Saw pembawa pesan rahmat dan melarang semua orang dari
perbuatan keji dan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa serta sikap-sikap
yang tidak baik. Beliau mengajak manusia untuk saling mengasihi dan berbuat baik
antara satu dan lainnya.
Biografi Nabi Muhammad Saw adalah
penjelas dari perilaku-perilaku beliau, terutama sikapnya kepada para pengikut agama
lain, bahkan karena kemulian akhlak Nabi Muhammad Saw sebagian orang Kristen dan
Yahudi memeluk Islam. Rasulullah Saw sangat memperhatikan hak-hak para pengikut
agama samawi lain, seperti Kristen dan Yahudi. Beliau berpesan kepada umat agama-agama
samawi untuk hidup bersama dan saling berinteraksi dengan kedamaian dan penuh kerukunan.
Islam adalah agama yang mengajarkan
hidup berdampingan dengan damai, saling mengasihi, dan memberikan kebebasan terhadap
keyakinan serta mengajarkan keadilan. Allah Swt dalam surat Ali-Imran ayat 64 berfirman,
"Katakan, wahai Nabi, "Hai Ahl al-Kitab, mari kita berpegang kepada kalimah
sawa' (titik temu) yang selalu kita ingat bersama-sama. Yaitu, bahwa masing-masing
kita hanya menyembah kepada Allah, tidak mengakui adanya sekutu bagi-Nya, dan tidak
tunduk dan taat kepada pihak lain demi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu dengan
meninggalkan hukum Allah yang telah ditetapkan....."
Ayat tersebut kepada semua yang bertauhid
dari para ahli kitab mengatakan bahwa kalian semua memiliki kesamaan (titik temu)
yaitu mengesakan Tuhan, oleh karena itu gandengkanlah tangan kalian dan hidupkanlah
persamaan tersebut. sebenarnya, Islam tidak memaksa para pengikut agama samawi lain
untuk memeluk Islam, namun menyebutkan bahwa tauhid sebagai titik temu yang penting
di dalam agama-agama samawi. Islam tidak menilai menerima suatu agama harus dengan
cara paksaan. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat
256, "Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama…". Tidak
adanya paksaan dalam agama karena agama berakar dari satu mata rantai keyakinan
hati yang tidak dapat dipaksakan. Paksaan hanya dapat berdampak pada fisik dan luarnya
saja, namun tidak berdampak pada pemikiran dan keyakinan.
Wahabi tanpa memperhatikan ajaran-ajaran
Islam yang benar berupaya merusak gereja dan melarang umat Kristen beribadah serta
memaksa mereka menerima Islam. Langkah-langkah para pengikut Wahabi tersebut telah
menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Akibat fatwa-fatwa menyesatkan dan
anti-kemanusiaan para ulama Wahabi, hingga kini telah menyebabkan pembunuhan terhadap
orang-orang tak berdosa dan menimbulkan ketidakamanan di berbagai kawasan dunia.
Di Arab Saudi yang merupakan pusat lahir dan berkembangnya aliran sesat ini, tidak
diizinkan membangun tempat ibadah kecuali masjid. Bahkan umat Kristen tidak diperbolehkan
mengadakan acara ritual umum di rumah-rumah mereka. Namun di negara-negara lain
seperti Iran, Mesir, Suriah, Turki, Kuwait, Pakistan, Oman dan negara-negara lainnya
terdapat gereja dan umat Kristen bebas melakukan ritual ibadah mereka.
Rezim Wahabi, Al Saud, sepanjang
sejarah tanpa belas kasihan telah menumpahkan darah umat Islam. Oleh karena itu,
sangat wajar jika rezim Al Saud bersikap keras memusuhi agama-agama samawi lain.
Sejak awal munculnya aliran Wahabi, telah banyak masjid, tempat-tampat suci, bahkan
pemakaman umat Islam telah dihancurkan mereka. Pemikiran kaku (jumud), fanatik dan
ekstrim telah membentuk karakter aliran Wahabi sehingga memunculkan berbagai perilaku
yang tidak rasional.
Umat Islam dengan mengikuti petunjuk
al-Quran dan menapak jejak dari perilaku Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya selalu
bersikap baik terhadap para pengikut agama samawi lain. Ulama dunia Islam sejak
lebih dari 1400 tahun lalu tidak pernah membatasi para pengikut agama lain dalam
menjalankan aktivitas keagamaannya. Mereka selalu berdialog dan bertukar pendapat
dengan para pengikut agama lain, bahkan dengan argumentasi dan logika yang benar
menunjukkan keyakinan mereka yang telah menyimpang. Namun sayangnya, para mufti
Wahabi justru membatasi para pengukut agama lain untuk menjalankan aktivitas keagamaannya.
Fatwa baru Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah al-Syeikh terkait
penghancuran gereja di semua negara semenanjung Arab telah menyulut protes umat
Kristen dan ulama Islam. Hingga kini, para pendeta dari berbagai penjuru dunia dan
ulama Islam khususnya di Iran telah mereaksi keras fatwa ekstrim tersebut.
Fatwa terbaru Mufti Agung Sheikh
Abdulaziz bin Abdullah dikeluarkan sebagai respon terhadap keputusan parlemen Kuwait
beberapa waktu lalu, yang melarang pembangunan gereja-gereja baru di negara itu.
"Mengingat negara Teluk Persia kecil dan merupakan bagian dari Semenanjung
Arab, maka perlu untuk menghancurkan semua gereja-gereja di wilayah itu," kata
Sheikh Abdulaziz seperti dilaporkan media Arab.
Dewan Ahlul Bait Sedunia dalam sebuah
pernyataan pada Selasa (27/3) mengatakan, "Pertama-tama, Mufti Wahabi tidak
mewakili Islam. Dunia harus tahu bahwa agama yang sekarang sedang dipublikasikan
di Arab Saudi, bukan Islam yang sesungguhnya." Pernyataan itu menambahkan bahwa
isi fatwa baru tersebut bertentangan dengan perintah Allah Swt serta sunnah Nabi
Muhammad Saw dan keturunannya. Oleh karena itu, ditolak tidak hanya oleh komunitas
Syiah, tetapi juga oleh Muslim Sunni.
Dewan itu mencatat bahwa sepanjang
sejarahnya, Islam telah hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Yahudi dan fatwa
seperti itu tidak pernah dikeluarkan oleh Rasul Saw, keturunannya, dan khalifah
Islam selanjutnya. Dewan Ahlul Bait Sedunia menyatakan, "Selain Rasul Saw,
keturunannya, dan para sahabat, juga tidak ada ulama yang pernah mengeluarkan fatwa
seperti itu selama 1.400 tahun terakhir, karena itu, Mufti Agung Wahabi telah mengeluarkan
fatwa di luar kerangka yurisprudensi Islam dan belum pernah dikeluarkan oleh pusat-pusat
ilmiah besar umat Islam,"
Menurut Dewan Ahlul Bait Sedunia,
fatwa tersebut juga merupakan intervensi terang-terangan dalam urusan internal negara-negara
Muslim lainnya, karena Mufti Saudi mengeluarkan fatwa tidak hanya terbatas untuk
wilayah Saudi, tetapi sudah termasuk Semenanjung Arab secara keseluruhan. Dewan
Ahlul Bait Sedunia juga mengecam sikap bungkam para cendekiawan Muslim dalam menanggapi
fatwa yang merusak citra Islam itu. Di akhir pernyataannya, Dewan Ahlul Bait Sedunia
mengkritik organisasi internasional hak asasi manusia serta pemerintah Barat dan
Kristen atas dukungan mereka terhadap radikalisme kelompok Wahabi.
Sementara itu, pendeta-pendeta Katolik
di Jerman dan Austria telah mengeluarkan statemen terpisah mengecam fatwa Sheikh
Abdul Aziz bin Abdullah dan menilainya sebagai pengingkaran terhadap hak-hak jutaan
orang dari para pegawai asing Kristen di semenanjung Arab.
Pendeta Robert Zollitsch, Direktur
Kongres Pendeta Jerman mengatakan, Mufti Saudi tidak menghormati kebebasan agama
dan hidup berdampingan dengan pengikut agama lain. Dia menilai bahwa penghancuran
gereja adalah pukulan terhadap para pegawai asing yang berada di negara-negara Arab.
Sebab, sekitar 3,5 juta umat Kristen berada di negara-negara Arab sekitar Teluk
Persia, di mana mayoritas mereka berasal dari India dan Filipina. Jumlah yang banyak
juga berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika. Di Moskow, pendeta Mark kepada
kantor berita Interfax mengatakan, diharapkan negara-negara tetangga Arab Saudi
tidak menanggapi fatwa tersebut.
Sementara itu, fatwa mufti Wahabi
Saudi juga mendapat kecaman dari berbagai pihak di Mesir. Doktor Ahmad Karimah,
dosen Syariah Islam di Universitas al-Azhar, Mesir menolak fatwa mufti Saudi dengan
menyinggung Surat al-Hajj ayat 40 yang berbunyi, ".....Seandainya Allah tidak
memberikan kepada kebenaran pembela-pembela yang akan selalu mempertahankan dan
melindunginya dari kesewenang-wenangan orang-orang zalim, niscaya kebatilan akan
menyebar dan tiran- tiran akan semakin leluasa dalam kesemena-menaan mereka. Dan
jika keadaannya terus begitu, para tiran itu akan berhasil membungkam suara kebenaran,
merusak gereja, biara, sinagog dan masjid yang merupakan tempat-tempat yang banyak
dipakai untuk menyebut nama Allah....." Dengan mengutip penggalan ayat tersebut,
dia menilai penghancuran gereja bertentangan dengan Islam.
Guru besar al-Azhar itu mengatakan,
sebagian penduduk negara-negara Arab beragama Kristen, bagaimana mungkin mereka
tidak diizinkan memiliki tempat ibadah. Dia menandaskan, lebih baik mufti Saudi
mengeluarkan fatwa diharamkannya agresi Amerika Serikat di tanah-tanah umat Islam
daripada mengeluarkan fatwa penghancuran gereja.
(kompilasi dari berbagai sumber)