Ketika
saya ikut gerakan underground NII PISWA Arjosari Malang (perkumpulan Manunggal
Bangsa Malang), Pancasila dianggap sebagai berhala
besar yang harus dimusnahkan dan diganti dengan Al-Qur’an jika NII PISWA kelak meraih
FUTUH MAKKAH (penggulingan rejim pemerintahan Indonesia), timbul sebuah pertanyaan:
Apakah Pancasila saat ini masih relevan untuk disembah?
Bangsa
Indonesia
ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam baik dari segi suku, agama dan budaya.
Perbedaan itu dipertentangkan secara tajam oleh Belanda sebagai sarana adu
domba, agar tidak ada kekuatan pemersatu yang bisa mengancam penjajahan
Belanda. Sama halnya dengan yang saya alami ketika tahun 1991 saya masuk dalam
jeratan paham Darul Islam (DI-TII) yang di Singosari Malang dibawa Abang alias
Asbirin Maulana alias Syatibi. Abang inilah yang membawa pemahaman baru (welt
anschaung) bagi kami anak-anak muda yang haus akan daulah islamiyah yang
bercermin pada perjuangan underground Negara Islam Indonesia (NII).
Pemahaman
NII yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam di Indonesia dengan pisau analisis
Al Furqon. Kami waktu itu diajari cara “membaca” atau membedakan antara orang
mukmin dan orang kafir diantara rakyat Indonesia dengan 7 lapis materi indoktrinasi
(disamarkan dengan istilah festival) selama 2 hari 3 malam.
Kehadiran
golongan NII Pemerintahan Islam Sejuta Wali – PISWA (yang suka mengkafirkan
masyarakat di luar kelompok NII karena tidak bersyahadat sesuai paham mereka)
adalah bentuk hadirnya penjajah baru, dan pemecah belah persatuan rakyat Indonesia. Dimana
hal ini merupakan ancaman bagi Pancasila khususnya sila ketiga persatuan Indonesia.
Pancasila,
menurut Syahrir, merupakan sebuah ide dasar pembentukan masa depan negara Indonesia. Sebab
itu,Pancasila tidak akan berbenturan dengan globalisasi maupun modernisasi.
Nilai yang berbenturan dengan Pancasila adalah budaya kekerasan,
budaya pecah belah, dan budaya westernisasi (kebarat-baratan). Ketiga budaya tersebut
merupakan penghalang bagi modernisasi yang dicita-citakan para Founding
Father negeri ini.
Jika
globalisasi dijadikan sebagai alasan dari hancurnya nilai-nilai luhur bangsa, sebaliknya globalisasi
yang didasarkan pada nilai Pancasila justru memperkuat jati diri bangsa. Globalisasi
bukan semata-mata menelan budaya Barat secara mentah-mentah. Sebaliknya, globalisasi yang berarti
hilangnya batas-batas antarnegara dapat dijadikan ajang promosi budaya
luhur bangsa Indonesia.
Sebagai
contoh argumen di atas, profesor-profesor di Harvard dan Yale University sering merujuk Indonesia
dalam studi tentang konsep masyarakat majemuk yang toleran. Hal tersebut menjadi
bukti bahwa Indonesia dengan falsafah dasar Pancasila
mampu menjadi inspirasi dunia dalam mengembangkan masyarakat global yang plural, namun
memiliki sikap toleransi yang tinggi. Dengan hadirnya konsep
NII-PISWA yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam sendiri lebih-lebih
kepada agama lain, tentunya jelas melahirkan benih-benih intoleransi,
disharmoni dalam berbangsa dan beragama. Indonesia bukan negara Islam,
karena tidak dibangun berdasarkan Al-Quran, namun oleh semangat kebangsaan dalam
ragam agama, suku bangsa dan budaya.
Memaknai
Pancasila sebagai dasar negara dapat membuat generasi muda menjadi lebih memiliki toleransi
yang tinggi, tanpa perlu mengklaim diri sebagai islam sejati, tanpa harus
membodohi ummatnya sendiri. Pancasila bukan sekadar simbol pemersatu. Ia esensi
dari kebersamaan dan keberagaman yang ada di Indonesia.
BY. ADHINEGARA
Mahasiswa Internasional Program, Fakultas Ekonomika
dan Bisnis Universitas Gadjah Mada